International Finance Corporation (IFC), lembaga pinjaman swasta dari Grup Bank Dunia,
secara tidak langsung mendukung puluhan proyek batubara baru di seluruh Asia, demikian
menurut sebuah laporan baru, Klaim Kosong: Bagaimana Pendanaan Batubara Menembus Celah
Hukum Paris Alignment oleh IFC. Laporan yang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh
Inclusive Development International, Recourse, dan Trend Asia, diterbitkan hari ini sebelum
Pertemuan Tahunan Bank Dunia yang akan berlangsung di Marrakesh minggu depan.
“Kami menemukan bahwa IFC masih mendukung kapasitas batubara baru melalui investasinya
di bank dan lembaga keuangan lainnya, terlepas dari komitmennya untuk menyelaraskan
investasi tersebut dengan Perjanjian Paris,” ujar David Pred, direktur eksekutif Inclusive
Development International. “Hal ini bertolak belakang dengan pembangunan berkelanjutan yang
ingin dipromosikan oleh IFC, dan tentunya memiliki dampak yang sangat buruk bagi masyarakat
yang terkena dampak batubara di seluruh Asia dan juga di penjuru dunia pada masa-masa iklim
ekstrim seperti sekarang ini.”
Sebuah pembangkit listrik tenaga batubara baru berkapasitas 700 megawatt yang direncanakan
bernama Jambi 2 berlokasi di Provinsi Jambi (Indonesia), merupakan salah satu proyek baru
yang secara tidak langsung didukung oleh IFC. Laporan baru ini berfokus pada Jambi 2 sebagai
studi kasus tentang bagaimana pinjaman IFC mendukung pengembangan batubara baru dan
dampaknya terhadap masyarakat setempat. Menurut aktivis setempat dan masyarakat setempat
yang diwawancarai oleh Inclusive Development International, Jambi 2 merupakan proyek yang
tidak diinginkan ataupun dibutuhkan oleh provinsi tersebut. Proyek ini dinilai akan memperparah
dampak buruk dari pengembangan batubara di daerah tersebut, termasuk polusi udara, air, dan
isu-isu kesehatan yang terkait. Namun, Postal Savings Bank of China yang merupakan perantara
IFC dan pemodal batubara utama di wilayah tersebut, telah memberikan utang kepada
pengembang Jambi 2, bernama China Huadian.
“Pengembangan batubara yang sedang berlangsung di Indonesia, termasuk PLTU Jambi 2, akan
mempercepat perubahan iklim dan konsekuensi-konsekuensi bencana yang ditimbulkannya,”
ujar Novita Indri, seorang juru kampanye energi Trend Asia. “Hal ini merupakan tamparan bagi
Indonesia; sebuah negara kepulauan yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut dan telah mengalami kejadian cuaca ekstrem.”
Postal Savings Bank of China sejauh ini merupakan penyandang dana terbesar bagi para
pengembang batubara dalam portofolio IFC. Menurut data yang dikumpulkan oleh Inclusive
Development International dan dipublikasikan bersama laporan terbaru ini, IFC membeli saham
ekuitas senilai $300 juta di Postal Savings Bank pada tahun 2015 dan bank ini telah memberikan
418 miliar RMB atau senilai $57,3 miliar dalam bentuk kredit tanpa syarat dan kredit proyek
kepada perusahaan-perusahaan yang sedang membangun puluhan pembangkit listrik tenaga
batubara di wilayah Asia. Bank ini memberikan pinjaman ketika hampir sebagian besar industri
keuangan mulai beralih dari batubara, yang mengimplikasikan keterlibatan IFC dan Kelompok
Bank Dunia sebagai pihak yang masih membiayai proyek batubara dan dampak-dampak
buruknya bagi masyarakat dan juga terhadap iklim. Para penulis laporan menyerukan kepada
IFC untuk memanfaatkan pengaruhnya sebagai pemegang saham utama untuk menghentikan
Postal Savings Bank agar tidak lagi mendanai pengembangan batu bara.
“IFC akan terlihat sangat munafik jika mengizinkan klien perbankannya membiayai
proyek-proyek seperti Jambi 2 dan pengembangan batubara lainnya di Asia, sementara pada saat
yang sama IFC berjanji untuk menyelaraskan kegiatannya sesuai dengan Perjanjian Paris
mengenai Perubahan Iklim,” kata Kate Geary, salah satu direktur Recourse. “Meskipun mereka
sudah berkomitmen untuk beralih dari batubara di atas kertas, Grup Bank Dunia gagal untuk
memastikan bahwa investasinya tidak mendukung proyek-proyek pembangkit listrik tenaga
batubara yang menjadi kontributor signifikan terhadap perubahan iklim dan memicu dampak
buruk bagi masyarakat.”
Situasi ini mulai terkuak setelah adanya laporan bahwa masyarakat di Provinsi Banten
(Indonesia) bulan lalu mengajukan pengaduan resmi terhadap IFC karena terlibat dalam kegiatan
pembangunan dua unit besar di kompleks mega PLTU batubara Suralaya. Sebelumnya, keluhan
serupa juga pernah disampaikan kepada IFC, mengenai dukungannya terhadap ekspansi batubara
di Filipina.
“IFC telah berkontribusi terhadap kerugian besar terkait ekspansi batubara di banyak negara,”
tambah Pred. “Saat ini IFC memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang telah
terjadi dan mencegah kerusakan lebih lanjut di masa depan dengan mewajibkan semua klien
perantara keuangannya, termasuk Postal Savings Bank of China, untuk segera menghentikan
pendanaan pengembangan batubara.”
Catatan untuk editor:
Mengenai pinjaman perantara keuangan IFC dan komitmen “tanpa batubara”
Inclusive Development International sebelumnya telah menelusuri aspek finansial dalam
portofolio sektor keuangan IFC dan mempublikasikan temuan-temuan kami dalam seri
investigasi Outsourcing Development yang mengekspos pembangkit listrik tenaga batubara dan
tambang-tambang yang secara tidak langsung didukung oleh IFC.
Sejak saat itu, Grup Bank Dunia telah membuat serangkaian komitmen yang dirancang untuk
mereformasi pendekatannya dalam berinvestasi di lembaga keuangan, mengurangi eksposurnya terhadap batubara, dan menyelaraskan kegiatan dengan Perjanjian Paris. Hal yang paling
menonjol terjadi pada tahun 2019 ketika IFC meluncurkan Pendekatan Ekuitas Hijau.
Pendekatan ini mengharuskan lembaga-lembaga keuangan yang sahamnya dimiliki oleh IFC
untuk mengurangi separuh eksposur batubara mereka pada tahun 2025 dan menghilangkannya
dari portofolio mereka pada akhir dekade ini. Pada tahun 2023, IFC menutup celah utama yang
ditunjukkan oleh Inclusive Development International, Recourse, dan Trend Asia dalam
pendekatan tersebut dengan memperbarui aturan untuk membatasi klien ekuitas agar tidak lagi
mendanai proyek batubara baru.
Namun demikian, pendekatan utama IFC yang berniat menyelaraskan operasi pinjaman tidak
langsung dengan Perjanjian Paris masih mengandung celah hukum dan area rancu lainnya. IFC
masih mengizinkan klien ekuitas untuk menjamin obligasi bagi pengembang batubara dan
mengizinkan klien untuk membiayai proyek-proyek industri yang ditenagai oleh pembangkit
listrik tenaga batubara khusus, sebuah konsep yang dikenal dengan istilah captive coal. Selain
itu, hingga saat ini masih belum jelas bagaimana dan apakah kebijakan “tidak ada batubara baru”
diterapkan pada pembiayaan korporat klien pengembang batubara yang sudah ada. Faktanya,
penelitian dan laporan terbaru kami mengungkapkan bahwa bank-bank yang saham ekuitasnya
dimiliki IFC, termasuk Postal Savings Bank of China, masih terus menyuntikkan dana kepada
para pengembang proyek batubara baru.
Mengenai metodologi kami
Untuk menyusun laporan ini, Inclusive Development International menelusuri dana IFC melalui
sejumlah perantara keuangan ke berbagai pembangkit listrik tenaga batubara yang baru di Asia.
Hasil lengkap penelusuran kami dapat diakses di sini.
Kami membagi pembangkit listrik tenaga batubara baru ke dalam beberapa kategori, yaitu:
proyek-proyek yang telah beroperasi sejak tahun 2019; proyek-proyek yang sedang dalam tahap
konstruksi; dan proyek-proyek yang sudah diumumkan oleh para pengembang. Data ini tidak
termasuk proyek yang terdaftar sebagai proyek yang ditangguhkan atau dibatalkan, meskipun
pengembang secara teratur mengaktifkan kembali proyek yang sudah lama tidak aktif atau
ditangguhkan.
Kami mengandalkan Global Energy Monitor yang memantau infrastruktur energi di seluruh
dunia untuk seluruh data pembangkit listrik tenaga batubara, termasuk nama-nama proyek,
kapasitas pembangkit listrik, jadwal pembangunan dan pemilik proyek. Sementara itu, data yang
berkaitan dengan pengembang proyek, kapasitas produksi batubara mereka saat ini, rencana
pembangunan serta penerbitan obligasi kami ambil dari Global Coal Exit List yang juga
digunakan oleh IFC saat membantu klien mereka dalam mengidentifikasi paparan terhadap
sektor batubara pada portofolio mereka.
Data lain yang tercakup dalam laporan ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Inclusive
Development International, Recourse, dan Trend Asia terhadap pengarsipan perusahaan,
pengungkapan proyek International Finance Corporation, dan kunjungan lapangan di Indonesia.